Mandub atau Sunnah
Mandub secara bahasa artinya mad'u (yang diminta) atau yang dianjurkan. Beberapa literatur atau pendapat ulama menyebutkan, mandub sama dengan sunnah.
Hukum Islam sunnah atau mandub dalam fiqh adalah tuntutan untuk melakukan suatu perbuatan karena perbuatan yang dilakukan dipandang baik dan sangat disarankan untuk dilakukan. Orang yang melaksanakan berhak mendapat ganjaran tetapi bila tuntutan tidak dilakukan atau ditinggalkan maka tidak apa-apa.
Hukum sunnah dilihat dari tuntutan melakukannya yakni:
-Sunnah muakkad: perbuatan yang selalu dilakukan oleh nabi di samping ada keterangan yang menunjukkan bahwa perbuatan itu bukanlah sesuatu yang fardhu misalnya sholat witir.
-Sunnah ghairu mu'akad yaitu sunnah yang dilakukan oleh nabi tapi nabi tidak melazimkan dirinya untuk berbuat demikian seperti sunnah 4 rakat sebelum dzuhur dan sebelum ashar.
Sedangkan hukum sunnah jika dilihat dari kemungkinan untuk meninggalkannya terbagi menjadi:
-Sunnah hadyu: perbuatan yang dituntut melakukannya kareba begitu besar faidah yang didapat dan orang yang meninggalkannya tercela, seperti azan, sholat berjamaah, sholat hari raya.
-Sunnah zaidah: sunnah yang apabila dilakukan oleh mukalaf dinyatakan baik tapi bila ditinggalkan tidak diberi sanksi apapun. Misalnya mengikuti yang biasa dilakukan nabi sehari-hari seperti makan, minum, dan tidur.
-Sunnah nafal: suatu perbuatan yang dituntut tambahan bagi perbuatan wajib seperti sholat tahajud.
Makruh secara bahasa artinya mubghadh (yang dibenci). Jumhur ulama mendefinisikan makruh adalah larangan terhadap suatu perbuatan tetapi larangan tidak bersifat pasti, lantaran tidak ada dalil yang menunjukkan haramnya perbuatan tersebut.
Makruh dibagi 2 yakni:
-Makruh tahrim yakni sesuatu yang dilarang oleh syariat secara pasti contohnya larangan memakai perhiasan emas bagi laki-laki.
-makruh tanzih yakni sesuatu yang diajurkan oleh syariat untuk meninggalkannya, tetapi larangan tidak bersifat pasti contohnya memakan daging kuda saat sangat butuh waktu perang.
Hukum Islam berikutnya yakni mubah. Mubah adalah titah Allah yang memberikan kemungkinan untuk memilih antara mengerjakan atau meninggalkan. Bila mengerjakan tidak diberi ganjaran.
Muharram secara bahasa artinya mamnu' (yang dilarang). Menurut madzah hanafi, hukum haram harus didasarkan dalil qathi yang tidak mengandung keraguan sedikitpun sehingga kita tidak mempermudah dalam menetapkan hukum haram, sebagaimana QS An Nahl ayat 116.
Menurut Jumhur para ulama, hukum haram terbagi:-Al Muharram li dzatihi: sesuatu yang diharamkan oleh syariat karena esensinya mengandung kemadharatan bagi kehidupan manusia. Contoh makan bangkai, minum khamr, berzina.-Al Muharram li ghairihi: sesuatu yang dilarang bukan karena essensinya tetapi karena kondisi eksternal seperti jual beli barang secara riba.
Pernikahan adalah ikatan yang sakral, untuk itu tak bisa sembarang melangsungkannya. Para ulama bahkan menetapkan sejumlah hukum atas pelaksanaan pernikahan yang didasari dari situasi serta kondisi seseorang, dengan tujuan agar bisa menggapai hubungan yang baik serta harmonis. Lalu apa hukum pernikahan dalam Islam?
Ahmad Sarwat dalam Ensiklopedi Fikih Indonesia: Pernikahan mengemukakan pada dasarnya pernikahan adalah ciri manusia sejak pertama kali diciptakan. Sebagaimana Allah SWT menciptakan Nabi Adam AS, lalu dijadikan pula Hawa oleh-Nya. Kemudian keduanya terikat dalam pernikahan dan hingga sekarang seluruh umat manusia adalah keturunan mereka.
Syariat pula menganjurkan kaum muslim untuk menikah. Terlebih menikah merupakan bagian dari sunnah para rasul, dan Nabi SAW pernah bersabda:
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
النِّكَاحُ مِنْ سُنَّتِي فَمَنْ لَمْ يَعْمَلْ بِسُنَّتِي فَلَيْسَ مِنِّي
Artinya: "Menikah itu bagian dari sunnah ku, maka siapa yang tidak beramal dengan sunnah ku, maka bukanlah dari golonganku." (HR Ibnu Majah)
Allah melalui kalam-Nya turut menyatakan bahwa pernikahan adalah bagian dari kebesaran-Nya, dalam Surat Ar-Rum ayat 21:
وَمِنْ اٰيٰتِهٖٓ اَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِّنْ اَنْفُسِكُمْ اَزْوَاجًا لِّتَسْكُنُوْٓا اِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَّوَدَّةً وَّرَحْمَةً ۗاِنَّ فِيْ ذٰلِكَ لَاٰيٰتٍ لِّقَوْمٍ يَّتَفَكَّرُوْنَ
Arab Latin: Wa min āyātihī an khalaqa lakum min anfusikum azwājal litaskunū ilaihā wa ja'ala bainakum mawaddataw wa raḥmah, inna fī żālika la`āyātil liqaumiy yatafakkarụn
Artinya: Di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah bahwa Dia menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari (jenis) dirimu sendiri agar kamu merasa tenteram kepadanya. Dia menjadikan di antaramu rasa cinta dan kasih sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berpikir.
Memperoleh Ketenangan
Menikah juga memiliki tujuan agar memperoleh ketenangan hati. Ini sesuai dengan ayat Al Qur'an yang berbunyi:
"Di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia ciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang." (QS al-Rum [30]: 21).
Tujuan menikah juga sebagai penyenang hati, membentuk pasangan suami-istri yang bertakwa pada Allah SWT.
"Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa." (QS. Al-Furqon ayat 74).
Berikut hukum-hukum Islam:
Pengertian wajib secara bahasa adalah saqith (jatuh, gugur) dan lazim (tetap). Wajib adalah suatu perintah yang harus dikerjakan, di mana orang yang meninggalkannya berdosa.
Hukum wajib dibagi menjadi 4 yakni kewajiban waktu pelaksanaannya, kewajiban bagi orang melaksanakannya, kewajiban bagi ukuran/kadar pelaksanaannya, dan kandungan kewajiban perintahnya.
Kewajiban dari waktu pelaksanaannya:
a. Wajib muthlaq yakni wajib yang tidak ditentukan waktu pelaksanaannya seperti meng-qadha puasa Ramadhan yang tertinggal atau membayar kafarah sumpah.
b. Wajib muaqqad yakni wajib yang pelaksanaannya ditentukan dalam waktu tertentu dan tidak sah dilakukan di luar waktu yang ditentukan. Wajib muaqqad terbagi lagi dalam:
-wajib muwassa: wajib yang waktu disediakan untuk melakukannya melebihi waktu pelaksanaannya.- wajib mudhayyaq: kewajiban yang sama waktu pelaksanaannya dengan waktu yang disediakan seperti puasa Ramadhan.- Wajib dzu Syabhaini: gabungan antara wajib muwassa dengan wajib mudhayyaq, misalnya ibadah haji.
Kewajiban bagi orang yang melaksanakannya:
-Wajib aini: kewajiban secara pribadi yang tidak mungkin dilakukan atau diwakilkan orang lain misalnya puasa dan sholat.-Wajib kafa'i/kifayah: kewajiban bersifat kelompok apabila tidak seorang pun melakukannya maka berdosa semuanya dan jika beberapa melakukannya maka gugur kewajibannya seperti sholat jenazah.
Kewajiban berdasarkan ukuran atau kadar pelaksanaannya:
-Wajib muhaddad: wajib yang harus sesuai dengan kadar yang sesuai ketentuan seperti zakat.-Wajib ghairu muhaddad: kewajiban yang tidak ditentukan kadarnya seperti menafkahi kerabat.
Kewajiban berdasarkan kewajiban perintahnya:
-Wajib Mu'ayyan: kewajiban yang telah ditentukan dan tidka ada pilihan lain seperti membayar zakat dan sholat lima waktu.
-Wajib mukhayyar: kewajiban yang objeknya boleh dipilih antara beberapa alternatif.
Hukum Pernikahan dalam Islam
Jumhur ulama menyebut bahwa hukum pernikahan pada seseorang bisa berubah dan tiap orangnya dapat berbeda lantaran tergantung kondisi dan permasalahan yang dialami.
Berikut berbagai hukumnya yang dilansir dari Ensiklopedi Fikih Indonesia: Pernikahan, Fiqih Islam wa Adilatuhu karya Wahbah az-Zuhaili, dan Panduan Lengkap Muamalah oleh Muhammad Bagir:
Menjadi wajib apabila seorang muslim telah cukup kemampuan untuk melangsungkannya, baik secara finansial maupun lahir batin. Di sisi lain ia memiliki hasrat seksual yang tinggi dan khawatir akan terjerumus ke dalam perzinaan jika ia tidak menikah. Ia juga tidak mampu menjaga dirinya dari perbuatan hina dengan cara lain seperti puasa.
Mengingat bahwa menjaga kesucian dan kehormatan adalah suatu keharusan, begitu pula dengan menjauhi perbuatan yang dilarang agama. Sehingga cara terbaik baginya adalah dengan menikah.
Apabila seseorang akan mendzalimi serta membahayakan pasangannya jika menikah, seperti dalam kondisi tidak dapat memenuhi kebutuhan pernikahan lahiriah dan batiniah, atau tidak mampu berbuat adil terhadap istri-istrinya. Juga menjadi haram bila hendak melakukan penipuan.
Atau ada kasus di mana salah satu pasangannya menderita penyakit yang bisa menghalangi kebahagiaan di antara mereka kelak, maka tidak halal baginya untuk menyembunyikan hal itu. Kecuali telah memberitahukan kekurangannya itu kepada calom pasangannya.
Tidak menjadi wajib melainkan sunnah jika seseorang sudah mampu dalam finansial dan pemenuhan lahir batin, tetapi tidak takut akan tergelincir kepada perilaku yang dilarang. Dilatarbelakangi pula dengan umurnya yang terbilang masih muda.
Orang dengan keadaan seperti ini sebatas dianjurkan untuk menikah, tidak sampai diwajibkan. Lantaran ia mampu menjaga dirinya dari perbuatan zina.
Bagi orang yang tidak punya penghasilan serta tidak mampu memenuhi kebutuhan batiniah, tetapi calon istrinya rela dan memiliki harta cukup untuk menghidupi mereka. Dengan kondisi seperti ini, maka menikah adalah makhruh bila dipandang dalam Islam.
Di mana seseorang dalam kondisi stabil, tidak cemas akan terjerumus kepada zina, dzalim atau membahayakan pasangannya jika tidak menikah. Tidak ada pula dorongan maupun hambatan untuk melakukan atau meninggalkan pernikahan. Dalam keadaan ini, hukum menikah bagi seseorang yakni boleh (mubah).
Assalamu‘alaikum wr. wb.
Mengenai as-Sunnah banyak orang berpendapat bahwa itu adalah sunat Rasul (hukumnya sunnah). Pemahaman saya, as-Sunnah adalah pedoman/petunjuk/manhaj/jalan yang dibawa oleh Rasulullah Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Pemahaman saya, as-Sunnah sendiri hukumnya fardhu, dan bisa jadi hukumnya sunat, hal tersebut tergantung penekanan hadisnya. Misalnya hadis, “Shalatlah kamu sebagaimana melihat aku shalat”. Hadis dimaksud merupakan fardhu untuk diikuti. Yang ingin saya tanyakan, sebenarnya hukum syara (fardhu, sunnat, dll) itu bagaimana asal muasalnya bisa terbentuk. Lalu bagaimanakah di zaman Nabi sendiri, sehingga kita mengetahui kapan hadis itu menjadi fardhu dan kapan menjadi sunnat, mengingat ada hadis “Barangsiapa yang tidak menyukai sunnahku, maka bukan golonganku.”
Terima kasih atas jawaban Majelis Tarjih, mudah-mudahan ada manfaatnya buat saya pribadi, umumnya buat umat Islam Indonesia.
Wassalamu’alaikum wr. wb.
Pertanyaan Dari:Hery Sopari, Desa Cikole, Kec. Cimalaka Sumedang 45353 Jawa Barat.Instansi: Kantor Kementerian Kehutanan (Balai Taman Nasional Wakatobi)(disidangkan pada hari Jum’at, 22 Jumadilakhir 1434 H / 3 Mei 2013 M)
Wa’alaikumussalam wr. wb.
Terima kasih atas pertanyaan saudara.
Pertanyaan saudara bisa kami simpulkan terkait dengan pembahasan mengenai metode penemuan dan penyimpulan hukum (thuruq istinbath al-ahkam) dalam Islam yang notabene dilakukan oleh para ahli hukum Islam. Bidang keilmuan yang terkait dengan bahasan ini adalah ushul fikih.
Sebagaimana kita ketahui bahwa al-Quran dan Hadis adalah sumber ajaran dan hukum Islam yang berisikan teks atau nash tertulis dari firman Allah dan sabda Nabi-Nya sebagai petunjuk manusia untuk kehidupan dunia dan akhirat. Sebagai sebuah kitab pentunjuk dan bimbingan agama secara umum dari Allah, maka otentisitas teksnya tidak diragukan lagi. Namun ketentuan hukum di dalamnya tidak bersifat rinci. Oleh karena itu, ketentuan-ketentuan dalam al-Quran merupakan kaidah-kaidah umum. Hanya beberapa yang diperinci, seperti kewarisan dan perkawinan. Sedang Hadis sebagai penjelasan al-Quran oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, periwayatan teks-teksnya tidak semuanya autentik (shahih). Sehingga hanya hadis-hadis yang shahih dan hasan saja yang dapat menjadi sumber hukum.Baca juga: Urut-Urutan Dalam Rukun Islam
Teks al-Quran dan Hadis berisikan pernyataan-pernyataan hukum yang perlu dipahami dan disimpulkan sehingga muncul aturan-aturan yang konkret sebagai pedoman hidup. Oleh karena itu, pemahaman terhadap kata-kata dalam pernyataan tersebut sangat penting. Dalam ilmu ushul fikih, para ahli hukum Islam membahas tema ini dalam bahasan ragam metode penyimpulan (thuruq istidlal), salah satunya adalah metode penyimpulan hukum dari kata-kata/lafal-lafal (thuruq istidlal min alfazh). Teks al-Quran dan Hadis banyak disimbolkan dengan kata kerja yang mewakili tingkah laku manusia dalam bahasa Arab, sebagai bahasa yang digunakan. Terkait dengan masalah ini, dalam bahasan ushul fikih, lafal terbagi ke dalam beberapa jenis yaitu:
(a) Musytarak (homonim), yaitu kata yang mempunyai dua makna atau lebih dengan kegunaannya yang banyak. Contohnya kata mata (al-‘ain) yang bisa dimaksudkan pada beberapa makna. Ada mata manusia, mata-mata (jasus), mata air (al-ma’). Semuanya bisa digunakan tergantung indikasi (qarinah) lafal tersebut;
(b) Lafal ‘am (umum), yaitu lafal yang mengarah pada satu makna yang dapat terealisir pada beberapa kesatuan yang banyak dan tidak bisa dihitung atau dibatasi dalam sebuah lafal, sekalipun pada kenyataannya terbatas. Biasanya kata-kata yang sifatnya umum. Contohnya adalah manusia (al-insan) yang mencakup seluruh anak cucu Adam;
(c) Lafal khas (khusus), yaitu lafal yang artinya dapat terealisir pada satu kesatuan atau beberapa kesatuan yang dapat dihitung atau terbatas. Seperti kata ‘Mukhlis’, ‘wanita’, dan ‘lelaki’. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda; دَعِي الصَّلاَةَ أّيَّامَ أَقْرَائِكِ [da’iy ash-shalah ayyama aqra’iki], artinya “tinggalkan shalat pada hari-hari haidmu” (HR. Ahmad). Kata haid dalam hal ini menunjukan suatu kekhususan. Lafal khas terbagi menjadi dua:
(c.1) muthlaq, yaitu lafal yang mengarah pada satu kesatuan atau beberapa kesatuan tanpa ada batasan khusus. Sebagai misal adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang perintah sedekah fitrah, أَدُّوا عَلَى كُلِّ حُرٍّ وَعَبْدٍ [addu ‘ala kuli hurrin wa ‘abdin], artinya “laksanakanlah untuk setiap hamba yang bebas dan (juga para) budak” (HR. ad-Daruqutni). Perintah untuk hamba yang bebas-merdeka dan budak di sini tanpa ada batasan maksud yang lain;Baca juga: Tujuan, Petunjuk dan Asas Dalam Melaksanakan Agama
(c.2) muqayyad, kebalikan dari muthlaq, yaitu lafal yang mengarah pada satu kesatuan atau beberapa kesatuan dengan batasan khusus. Contohnya dalam riwayat sedekah fitrah di atas terdapat tambahan kata, مُسْلِمٍ [… muslimin] (HR. at-Tirmidzi), menunjukkan adanya batasan khusus.
Lafal khas dapat berbentuk perintah atau bentuk informasi yang terkandung dalam pengertian perintah, maka lafal itu memberi arti mengharuskan (al-‘ijab/pewajiban). Oleh sebab itu, pernyataan hukum dalam al-Quran dan Hadis dapat disimpulkan sebagai sebuah kewajiban, jika dalam pernyataan-pernyataan tersebut terdapat bentuk perintah yang memerintahkan secara pasti atau terdapat indikasi (qarinah) ke arah sebuah kepastian. Misalkan dalam hadis, اِسْتَنْزِهُوا مِنَ اْلبَوْلِ فَإِنَّ عَامَّةَ عَذَابِ اْلقَبْرِ مِنْهُ [istanzihu min al-bauli fainna ‘ammata adzab al-qabri minhu], artinya, “sucikanlah diri kalian dari air kencing, karena pada umumnya azab neraka dari hal tersebut” (HR. ad-Daruqutni). Kata “istanzihu”, dalam tata bahasa arab diklasifikasikan sebagai bentuk fi’il amr (kata kerja imperatif/perintah).
Bentuk imperatif (perintah) dapat dipalingkan dari arti mewajibkan kepada makna lain karena ada indikasi yang mengarah kepada pengertian lain, seperti makna membolehkan (al-ibahah) dan an-nadbu (sunnah/anjuran). Misal pengertian yang membolehkan dalam sebuah Hadis, إِذَا أَرْسَلْتَ كَلْبَكَ اْلمُعَلِّمَ فَقَتَلَ فَكُلْ وَإِذَا أَكَلَ فَلاَ تَأْكُلْ فَإِنَّمَا أَمْسَكَهُ عَلَى نَفْسِهِ [idza arsalta kalbaka al-mu’allima faqatala fakul, wa idza akala fala ta’kul, fainnama amsakahu ‘ala nafsihi], yang artinya “jika kamu mengirim anjing (buruanmu) yang terlatih lalu (hewan buruannya) terbunuh, maka makanlah. Jika (hewan buruan tersebut kau temukan telah) dimakan oleh anjingmu, jangan kamu makan, karena itu bagiannya.” (HR. al-Bukhari). Contoh dari pengertian yang sunnah (an-nadbu) adalah hadis, أَسْبِغِ اْلوُضُوءَ وَخَلِّلْ بَيْنَ اْلأَصَابِعِ [asbighi al-wudhu’ wakhallil baina al-ashabi’], artinya “ratakanlah (air) wudhu dan selailah jari-jari (tangan dan kakimu) (HR. Ahmad).
Oleh karena itu, dalam memahami teks-teks perintah (amr) akan sangat tergantung pada indikasi-indikasi (qara’in) yang ada, di mana kadang menunjukkan pada kewajiban, kebolehan (mubah), sunnah (an-nadbu), petunjuk (irsyad), dan doa. Dalam masalah inilah, para ulama ahli hukum Islam banyak berbeda pendapat ketika menyimpulkan suatu hukum dengan simbol/istilah tertentu seperti sunnah muakkad, yang dalam mazhab Hanafi artinya adalah wajib. Tapi jika kembali kepada kaidah ushul dalam hal ini, pada dasarnya perintah itu menunjukkan kewajiban (al-ashlu fi al-amri lil-wujub).Baca juga: Walimatul ‘Ursy dengan Hewan Qurban
Lafal khas dapat pula berbentuk larangan (an-nahyu) atau berbentuk informasi dalam pengertian larangan. Oleh karenanya, lafal ini menurut para ahli hukum Islam, dapat menunjuk pada pengertian haram dan karahah (makruh). Meski pada dasarnya, larangan itu mengarah pada pengharaman (an-nahyu yaqtadhi at-tahrim), tapi terkadang dengan indikasi yang ada, dapat mengarah pada kemakruhan. Contoh dari pengertian yang haram adalah sebuah hadis, لاَ تَجْمَعُوا اْلمَرْأَةَ بَيْنَ عَمَّتِهَا أَوْ خَالَتِهَا [la tajma’u al-mar’ah baina ‘ammatiha au khalatiha”], artinya “jangan kau campuri (nikahi) seorang gadis sekaligus bibinya” (Muttafaq alaihi). Contoh dari pengertian yang makruh adalah sebuah hadis, إِذَا شَرَبَ أَحَدُكُمْ فَلاَ يَتَنَفَّسْ فيِ اْلإِنَاءِ ثَلاَثًا [idza syaraba ahadukum fala yatanaffas fil-‘ina’i tsalatsan], artinya “apabila engkau minum, jangan bernafas di dalam gelas tiga kali (bernafaslah di luar gelas)” (HR. al-Bukhari).
Kesimpulan dari kami, diperlukan metode-metode tertentu dalam memahami al-Qur’an dan Hadis kemudian mengamalkannya sesuai dengan maksud-maksud teks atau nash tersebut. Kadang di antara kita muncul pemahaman yang tidak tepat, yaitu dengan menggeneralisir bahwa semua yang datang dan berasal dari Rasul adalah wajib melaksanakannya dengan mendasarkan pada firman Allah surat al-Hasyr (59) ayat 7: وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا [Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah, dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah]. Juga berdasar sebuah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam; فَمَن رَغِبَ عَنْ سُنَّتِي فَلَيْسَ مِنِّي [faman raghiba ‘an sunnati falaisa minni], artinya “siapa yang membenci/tidak mengikuti sunnahku, maka tidak termasuk golonganku” (HR. al-Bukhari). Mengikuti sunnah adalah wajib, tapi harus sesuai dengan bentuk dan maksud dari Sunnah tersebut.
Wallahu a’lam bish-shawwab.
Sumber: Majalah Suara Muhammadiyah, No. 18, 2013
Oase.id – Sebagai umat Islam, seluruh tindakan dan perilaku memiliki ketentuan yang berlaku sesuai hukumnya. Hukum dalam Islam bukan hanya halal dan haram saja, melainkan ada wajib (Fardhu), Sunnah, Makruh, Mubah, dan Haram.
Hukum ini diberlakukan oleh para ahli fiqih untuk mempermudah dan menspesifikan kebutuhan umat Islam dalam beribadah. Berikut penjelasan mengenai wajib, Sunnah, haram, makruh, mubah:
Wajib merupakan suatu perkara yang harus dikerjakan dan tidak boleh ditinggalkan, dan jika umat muslim meninggalkannya maka berdosa. Kata lain dari hukum wajib adalah fardhu, fardhu dibagi menjadi dua yaitu fardhu ‘ain dan fardhu kifayah.
Hukum Sunnah merupakan perkara yang dikerjakan mendapatkan pahala, dan bila ditinggalkan tidak berdosa. Sunnah juga terbagi menjadi dua, yaitu Sunnah mu’akkad dan Sunnah ghairu muakkad.
Haram merupakan perkara yang dikerjakan akan memperoleh dosa dan jika ditinggalkan akan mendapatkan pahala. Perkara haram antara lain, berzina, berjudi, mengonsumsi minuman keras dan lainnya. Menurut Jumhur para ulama, hukum haram terbagi 2 yaitu Al Muharram lidzatihi, Al Muharram li ghairihi.
Makruh merupakan perkara yang dilarang tetapi larangan tidak bersifat pasti, lantaran tidak ada dalil yang menunjukkan hukum haramnya. Makruh dibagi menjadi 2, yaitu:
Mubah merupakan perkara yang dikerjakan ataupun ditinggalkan tidak memberikan ganjaran apapun baik dosa atau pahala. Hukum ini menjadi keringanan oleh Allah Swt kepada umat Islam, seperti berdoa tidak menggunakan bahasa Arab.
%PDF-1.7 %¡³Å× 1 0 obj <> endobj 2 0 obj [/ICCBased 3 0 R] endobj 3 0 obj << /Filter /FlateDecode /Length 2596 /N 3 >> stream xœ�–wTSهϽ7½P’Š”ÐkhRH ½H‘.*1 JÀ� "6DTpDQ‘¦2(à€£C‘±"Š…Q±ëDÔqp–Idß¼yïÍ›ß÷~kŸ½ÏÝgï}Öº �üƒÂLX €¡Xáçň�‹g`ð l àp³³BøF™|ØŒl™ø½º ùû*Ó?ŒÁ ÿŸ”¹Y"1 P˜ŒçòøÙ\É8=Wœ%·Oɘ¶4MÎ0JÎ"Y‚2V“sò,[|ö™e9ó2„<ËsÎâeðäÜ'ã�9¾Œ‘`çø¹2¾&cƒtI†@Æoä±|N6 (’Ü.æsSdl-c’(2‚-ãy àHÉ_ðÒ/XÌÏËÅÎÌZ.$§ˆ&\S†�“‹áÏÏMç‹ÅÌ07�#â1Ø™Yár fÏüYym²";Ø8980m-m¾(Ô]ü›’÷v–^„îDøÃöW~™ °¦eµÙú‡mi ]ëP»ý‡Í`/ Š²¾u}qº|^RÄâ,g+«ÜÜ\KŸk)/èïúŸC_|ÏR¾Ýïåaxó“8’t1C^7nfz¦DÄÈÎâpù柇øþuü$¾ˆ/”ED˦L L–µ[Ȉ™B†@øŸšøÃþ¤Ù¹–‰ÚøЖX¥!@~ (* {d+Ðï}ÆGùÍ‹Ñ™˜�ûÏ‚þ}W¸LþÈ$ŽcGD2¸QÎìšüZ4 E@ê@èÀ¶À¸ àA(ˆq`1à‚�D €µ ”‚`'¨u 4ƒ6pt�cà48.�Ë`ÜR0ž€)ð Ì@„…ÈR‡t CȲ…X�äCP”%CBH@ë R¨ª†ê¡fè[è(tº C· Qhúz#0 ¦ÁZ°l³`O8Ž„ÁÉð28.‚·À•p|î„O×àX ?�§€:¢‹0ÂFB‘x$ !«�¤i@Ú�¤¹ŠH‘§È[EE1PL”ʅ⢖¡V¡6£ªQP�¨>ÔUÔ(j õMFk¢ÍÑÎè t,:�‹.FW ›Ðè³èô8úƒ¡cŒ1ŽL&³³³ÓŽ9…ÆŒa¦±X¬:ÖëŠ År°bl1¶ {{{;Ž}ƒ#âtp¶8_\¡8áú"ãEy‹.,ÖXœ¾øøÅ%œ%Gщ1‰-‰ï9¡œÎôÒ€¥µK§¸lî.îžoo’ïÊ/çO$¹&•'=JvMÞž<™âžR‘òTÀTž§ú§Ö¥¾NMÛŸö)=&½=—‘˜qTH¦ û2µ3ó2‡³Ì³Š³¤Ëœ—í\6% 5eCÙ‹²»Å4ÙÏÔ€ÄD²^2šã–S“ó&7:÷Hžrž0o`¹ÙòMË'ò}ó¿^�ZÁ]Ñ[ [°¶`t¥çÊúUЪ¥«zWë¯.Z=¾ÆoÍ�µ„µik(´.,/|¹.f]O‘VÑš¢±õ~ë[‹ŠEÅ76¸l¨ÛˆÚ(Ø8¸iMKx%KK+Jßoæn¾ø•ÍW•_}Ú’´e°Ì¡lÏVÌVáÖëÛÜ·(W.Ï/Û²½scGÉŽ—;—ì¼PaWQ·‹°K²KZ\Ù]ePµµê}uJõH�WM{fí¦Ú×»y»¯ìñØÓV§UWZ÷n¯`ïÍz¿úΣ†Š}˜}9û6F7öÍúº¹I£©´éÃ~á~é�ˆ}ÍŽÍÍ-š-ep«¤uò`ÂÁËßxÓÝÆl«o§·—‡$‡›øíõÃA‡{�°Ž´}gø]mµ£¤ê\Þ9Õ•Ò%íŽë>x´·Ç¥§ã{Ëï÷Ó=Vs\åx٠‰¢ŸN柜>•uêééäÓc½Kz=s/¼oðlÐÙóç|Ï�é÷ì?yÞõü±ÎŽ^d]ìºäp©sÀ~ ãû:;‡‡º/;]îž7|âŠû•ÓW½¯ž»píÒÈü‘áëQ×oÞH¸!½É»ùèVúç·snÏÜYs}·äžÒ½Šûš÷~4ý±]ê =>ê=:ð`Áƒ;cܱ'?eÿô~¼è!ùaÅ„ÎDó#ÛGÇ&}'/?^øxüIÖ“™§Å?+ÿ\ûÌäÙw¿xü20;5þ\ôüÓ¯›_¨¿ØÿÒîeïtØôýW¯f^—¼Qsà-ëmÿ»˜w3¹ï±ï+?˜~èùôñOŸ~÷„óû endstream endobj 4 0 obj << /CA 1 /Type /ExtGState /ca 1 >> endobj 5 0 obj << /BaseFont /FPCHEW+Calibri /DescendantFonts [71 0 R] /Encoding /Identity-H /Subtype /Type0 /ToUnicode 70 0 R /Type /Font >> endobj 7 0 obj << /Filter /FlateDecode /Length 10937 >> stream xœí| XœÕÙö93ì0lB2IxÉ„@“�ÅdX†@Â`ˆYf˜d˜ÁYBˆF©Ö¥hªK7«©µZ«ÃÄ[µ›K«¶¶Zv_´j[[«Møïsž÷À€‰Wÿïú¿ÿûz]¸ßû>Ï9ç9çÇ€ûµWZÿ�ôŒ-»Ây ¤Õ=Hƒë]°=Ô;Ø7°8á…Û�Ϙ©t0àÜT’üc µhîO=;4>ŸŽÞ&²µ¬‰5³ÏD.-í|ˆ™xËcëø½÷æÖÖ&-M|„×0ÓxKbœ×X3â¦ûçÎÝd¹UÂcVÃ8_zϦÄ#ÛtâÕÏTœxõÍìµoòŠW^õõÌwžÉZ[±òõ^_¾ÌlÍ™kºß‹ª«,÷{WŽx�Y›D}k²w“Õ�xÄ'ù›Jç>SúLEé3¥pSºlyÏ*Ì’ÈI7$&æ$X–V-.^½råŠ�†Ug[¦¤íìÕk6W®X`0æ(ËFƒHsãsÿÚil9‘`¸Ð²iûÊøs3rL ñ†yùÙK7e¶Ÿ[´¡|~¢11ÁŸ”¸dMõÂ^Û—³æçæÍÏNJÊžŸ—;?+ñÄËñéïÿ%>ýƒš8ï×ÖïÚ´ÈøÙ”$C\BÂø‚ü9g/lØž1+3.uVfV^RbvVÚ’Ú]'.Ë�'|ÌËÍ%_'šgw1f¼9~6+çi"êÖE‹ðEóù¢yÜbæ‹æòEsxq>/žÍK²yIÏÖ2yÓ²ñ‰Ç¬¦CS÷2δTÞÄJÆ'~9à·�gèl’ü÷ãi’ß;ž*Ø�eM_�/*姊gjÖøÄk¢ ø…ãð ~L¸Š±?&\€ß¶&£ÆQÌÁ¬ìq¾é¸¥$sœ'Ž%t°Mo®Øtâi^±»T~ž.}¢tå;R~»tù²Ý¥¬”ïžü˜�ϲZ„‡{½p‘ |D½p‚_�IS]$&®PÍ\aVbBBq±ÐkŠhfs³äüÞœ�bJ<±+1-5!!Ù”ÄÓߟ5;=Þ˜�šÌÏŠKËÎÏÎײþ˜”ž_;knfbbæÜYÙs³’�?½>%δ`vV~fZ£Ƹ8—˜šðÁÕÉYs1'ÌÉ�ñ…l#û¾œSÉj^º€—ÌçŸU¶¾•çå#Py™i&Þ˜'‚™7nXzßÊ"ü°µúŒ¬}ÐpK¥¦"¤ÖÔôʵš¶Ö<ÎËï[™—PÞž¹vœ/QqÌ^»öMì¯(-}½ôéµk+*2_G,e$w‹Hšï'åÂv yIn¦B ¥ähfD×ÌÚh\uv¹ajÇlL�Q•;«PDöÆøäŒä«Òs3�)iìð¬Íž·ªõìs ËÓSãñIùë»ö¯ßsdwyÞæËüOV&e¤ÆoÉž7+91sA^΂ٳM
Islam mengatur seluruh urusan manusia dengan sangat lengkap dan sempurna. Dari mulai kita bangun tidur sampai kembali tidur di penghujung hari, Allah telah memberikan dan menjelaskan bagaimana cara manusia menjalani harinya. Dimulai dari bangun tidur, menyucikan diri, ibadah, memenuhi hak tubuh (makan, minum, istirahat), bekerja, belajar, bersilaturahim dengan sesama, berkomunikasi dengan orang yang lebih tua, muda, atau sebaya, berwisata, berniaga, mengaji, dan banyak lagi aktivitas manusia lainnya sampai kita kembali tidur, semua telah ada aturan mainnya. Aturan-aturan main tersebut sangat erat kaitannya dengan hukum-hukum yang berlaku atas suatu perbuatan.
Di dalam Islam, kita mengenal ada enam hukum yang berdampak pada boleh atau tidaknya kita mengerjakan sebuah perbuatan. Keenam hukum tersebut adalah waji, sunah, halal, mubah, makruh, dan haram. Melalui Al-Qur’an, Allah telah menjelaskan sebuah perbuatan berhukum apa. Jika di dalam Al-Qur’an tidak ditemukan, Allah menjelaskannya melalui sabda Rasulullah yang termaktub di dalam Al-Hadits. Jika di dalam Al- dan Al-Hadits juga tidak ditemukan, maka hasil dari ijtima’ ulama yang dijadikan landasan hukum sebuah perkara. Mengapa demikian? Karena zaman semakin berkembang, maka hadir pula perkara-perkara yang di zaman Rasulullah belum dikenal. Para ulama akan tetap mencari dalil utama pada Al-Qur’an dan Al-hadits karena di dalam kedua sumber tersebut terdapat bahasan secara umumnya. Untuk mengetahui lebih lanjut apa pengertian dari keenam hukum dalam Islam, mari kita bahas satu persatu.
Hukum wajib biasa kita kenal dengan istilah fardhu dalam bahasa Arab. Secara istilah, wajib memiliki arti sebuah perintah yang harus dilakukan oleh setiap hamba yang jika tidak melakukannya ia akan mendapatkan dosa. Dilansir dari laman detiknews.com, hukum wajib sendiri terbagi ke dalam empat bagian, yakni wajib berdasarkan waktu pelaksanaannya, wajib berdasarkan orang yang melaksanakan perintah tersebut, ukuran dan kadar pelaksananya, serta kandungan kewajiban perintahnya.
Kewajiban berdasarkan waktu pelaksanaannya pun terbagi lagi menjadi;
-wajib muwassa: wajib yang waktu disediakan untuk melakukannya melebihi waktu pelaksanaannya. – wajib mudhayyaq: kewajiban yang sama waktu pelaksanaannya dengan waktu yang disediakan seperti puasa Ramadhan. – Wajib dzu Syabhaini: gabungan antara wajib muwassa dengan wajib mudhayyaq, misalnya ibadah haji.
Kewajiban berdasarkan orang yang melaksanakannya:
Kewajiban berdasarkan ukuran atau kadar pelaksanaannya:
a.Wajib muhaddad: wajib yang harus sesuai dengan kadar yang sesuai ketentuan seperti zakat.
Kewajiban berdasarkan kewajiban perintahnya:
Sunah merupakan sebuah hukum yang apabila kita kerjakan maka akan mendapatkan pahala dan jika tidak mengerjakannya tidak berdosa. Sama seperti hukum wajib, sunah pun juga ada bagiannya.
Mubah atau biasa yang kita kenal dengan istilah ‘boleh’ ialah hukum dari sebuah perbuatan yang apabila tidak kita kerjakan, kita tidak memperoleh dosa dan jika kita kerjakan tak juga mendapatkan pahala. Contohnya adalah bercanda, berbelanja, makan, minum.
Secara bahasa, makruh artinya mubghod (yang dibenci). Makruh merupakan sebuah hukum menganjurkan kita untuk tidak melakukan suatu perbuatan. Bila kita tidak melakukannya maka akan diganjar pahala oleh Allah. Namun, apabila kita memilih untuk melakukannya tidak berdosa.
Contoh perbuatan makruh adalah memakan makanan yang berbau menyengat, seperti jengkol, petai, bawang-bawangan mentah. Allah tak menyukai hal-hal seperti itu karena aromanya yang kuat akan menganggu orang lain pada saat berbicara sedangkan seorang Muslim selalu dituntut untuk memperhatikan penampilannya agar selalu bersih dan wangi.
Makruh terbagi menjadi dua, yaitu;
Seperti yang telah kita ketahui, haram merupakan kebalikannya dari wajib. Ketika kita melakukan sesuatu yang dilarang olehNya maka akan dihukumi dosa dan apabila kita meninggalkan larangan tersebut, maka Allah akan mengganjarnya dengan pahala.
Haram sendiri juga terbagi ke dalam dua bentuk;
Itulah pengertian hukum dalam Islam serta pembagiannya. Harus selalu kita ingat, bahwa setiap perintah, anjuran, dan larangan yang Allah sampaikan kepada hambaNya mengandung hikmah yang harus kita renungkan sendiri. Percayalah, Allah hanya menginginkan kita selamat dunia akhirat. Percayalah, hanya Allah-lah sebaik-baiknya Zat yang mampu mengurusi hidup kita dengan amat sempurna.
Penulis, (Dessy Husnul Q)
Setelah memahami hukum nikah dalam Islam, kamu juga perlu mengenali tujuannya. Berikut tujuan pernikahan dalam Islam:
Mengikuti Perintah Allah SWT
Tujuan nikah dalam Islam yang paling utama adalah menjalankan perintah Allah. Ini sesuai dengan ayat Al Qur'an yang berbunyi:
"Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui." (QS. An-Nur Ayat 32).
Mendapat Keturunan yang Beriman
Tujuan pernikahan dalam Islam termasuk mendapatkan keturunan. Hal ini tercatat dalam Al Qur'an yang berbunyi:
"Allah menjadikan kamu isteri-isteri dari jenis kamu sendiri dan menjadikan bagimu isteri-isteri kamu itu, anak-anak dan cucu-cucu, dan memberimu rezeki yang baik. Maka mengapakah mereka beriman kepada yang bathil dan mengingkari nikmat Allah?." (QS. An-Nahl ayat 72).
Pernikahan juga bertujuan untuk membangun generasi beriman. Hal ini sesuai dengan ayat Al Qur'an yang berbunyi:
"Dan orang-orang yang beriman, dan yang anak cucu mereka mengikuti mereka dalam keimanan, Kami hubungkan anak cucu mereka dengan mereka, dan Kami tiada mengurangi sedikitpun dari pahala amal mereka. Tiap-tiap manusia terikat dengan apa yang dikerjakannya." (QS. At-Thur ayat 21).
Dalam Islam, tindakan kita harus sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Ada hukum-hukum Islam yang berlaku untuk menuntun manusia sesuai dengan tindakan yang sesuai.
Hukum-hukum itu seperti wajib, sunnah, makruh, dan haram. Dalam buku Ushul Fiqh Kajian Hukum Islam oleh Iwan Hermawan, disebutkan hukum-hukum tersebut.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT